Sabtu, 20 November 2010

Televisi, Sebuah Mesin Pencipta Realitas

Televisi, Sebuah Mesin Pencipta Realitas
(Industri televisi dalam perspektif kritis)

“Television is a centralized system of story-telling. It’s part and parcel of our daily lives. Its drama, commercials, news and other programs bring relatively coherent world of common images and messages into every home. Television cultivates from infancy the very predisposition and preferences that used to be acquired from other primary source..... The repetitive pattern of television’s mass produced messages and images forms the mainstream of a common symbolic environment”
- George Gerbner, 1969

Indonesia, sebagai negara demokrasi yang dahulu dikenal mempunyai tiga pilar demokrasi, kini dapat dianggap telah memiliki pilar keempatnya. Pilar yang keempat itu disebut-sebut sebagai sesuatu yang mempunyai kekuasaan luas dan juga misterius. Sesuatu itu bernama press. Press yang melingkupi berbagai media massa dianggap memiliki kekuatan dalam membangun persepsi masyarakat. Televisi, sebagai salah satu media yang aktif memberikan tayangan secara audio visual dapat dibilang memiliki magnet yang cukup kuat dalam masyarakat. Saat ini, dapat dikatakan hampir seluruh rumah di Indonesia ini memiliki televisi dan hampir setiap hari menkonsumsinya.


George Gerbner berusaha mengelompokkan pengguna televisi ke dalam dua kelompok. Khalayak yang menonton televisi kurang dari dua jam dapat dikatakan sebagai kelompo ringan (light user). Sedangkan khalayak yang menonton lebih dari dua jam setiap harinya, dikatakan sebagai pengguna berat televisi(heavy user). Kelompok ringan dianggap sebagai kelompok yang selektif dalam menggunakan Televisi. Mereka memiliki kecenderungan untuk hanya mengguanakan televisi pada saat tertentu saja dan kemuadian mematikannya jika acara tersebut telah selesai. Sedangkan kelompok berat, cenderung menggunakan televisi sebagai tontonan. Kelompok berat inilah yang secara tidak langsung akan terpengaruh realitas yang digambarkan oleh televisi. Lalu, sejauh apakah televisi memainkan perannya dalam proses sosialisasi terhadap nilai dalam masyarakat?. Benarkah saat ini nilai-nilai yang ada di media khususnya televisi, telah menggeser dan menggantikan pondasi nilai dalam masyarakat itu sendiri?.


Televisi, adalah sebuah pencerminan ganda dari realitas sosial yang terpampang dalam sebuah “small screen”. Richard M. Perloff menganggap bahwa anak-anak cenderung lebih dapat terpengaruh di dalam dunia itu, dimana anak-anak sedang mengalami proses pemahaman peran di dalam kehidupan mereka.Televisi akan membingkai pesan yang mereka bawa, dengan cara mereka sendiri. Bingkai-bingkai ini berisi lukisan mengenai realitas sosial yang berusaha mereka bangun. Televisi menggambarkan tentang etnis, jenis kelamin, fenomena kaum minoritas, dan juga kekerasan dengan cara mereka sendiri. Cara mereka itulah yang kemudian dapat mempengaruhi stereotype, menghasilkan bias, dan kondisi psikologi individu.


Stereotyped yang berhasil dibangun media televisi

Media televisi sering menayangkan tontonan yang berhasil memberikan label pada diri etnis ataupun komunitas tertentu. Kekuatannya terletak pada keberhasilan mereka dalam mengambil sudut pandang gambar dan juga intensita penayangannya. Beberapa bulan yang lalu, kita cukup sering melihat tayangan mengenai bonek yang merupakan suporter Persebaya. Televisi, menggambarkan secara terus menerus kekacauan yang dibuat oleh para bonek ketika itu. Kini dapat dikatakan masyarakat memandang bonek sebagai representative dari kekerasan supporter bola yang ada di Indonesia. Cap negatif kini berhasil disandang bonek dan secara tidak langsung, orang juga akan memandang Surabaya sebagai cerminan kota yang memiliki masyarakat yang cenderung anarkis.


Stereotyped berikutnya yang berhasil dibangun oleh media adalah mengenai jenis kelamin. Pria, berhasil digambarkan sebagai sosok yang maskulin dan selalu berkutat pada hal-hal yang berbau fisik. Selain itu pria juga digambarkan memiliki kecenderungan berfikir logis dan tidak mengedepankan perasaan. Disisi lain, wanita digambarkan sebagai sosok feminist yang lebih memakai perasaan dibandingkan logika. Wanita jarang sekali digambarkan berkecimpung dalam kegiatan yang menuntut energi besar. Ia digambarkan pada hal-hal yang bersifat halus dan lembut. Dan tidak jarang, wanita dianggap sebagai komoditi bagi para pria. Wanita juga digambarkan memiliki karakter yang kurang agresif dibanding pria. Televisi, sukses memberikan pandangannya dan membuat seolah-olah itu yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat.
Tayangan kekerasan yang sering ada di televisi (bahkan dibuat acara khusus) mempunyai efek kultivasi terhadap cara pandang masyarakat mengenai kekerasan itu sendiri. George Gerbner sebagai pencetus teori kultivasi berasumsi bahwa realitas yang diperantarai oleh TV menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya.
Di dalam website voa-islam.com disebutkan bahwa Komnas Perlindungan Anak merilis, tahun 2006 hingga akhir 2009, 68 persen tayangan di 13 stasiun televisi mengandung kekerasan. Dan dapat diprediksi, angka itu akan naik dari tahun ketahun. Menurut Kak seto, tayangan televisi-lah yang paling fatal mempengaruhi pikiran masyarakat. Tayangan-tayangan ekstrim seperti terjun dari ketinggian, menusuk diri, dan sebagainya, telah mengalirkan pengaruh yang sangat kuat kepada masyarakat, yang pada dasarnya telah terjangkit stres untuk melakukan hal-hal serupa.


Dalam sebuah situs Radio Nederland Wereldomroep yang menyoroti kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh Sri Rumiyati terungkap bahwa televisi berperan didalamnya. Sri Rumiyati yang berusia 48 tahun ini tega membunuh dan kemudian memenggal-menggal tubuh suaminya sendiri. Ia mengaku terinspirasi oleh media yang mengabarkan beberapa kasus mutilasi sebelumnya. Di dalam situs ini, Triyono Lukmantoro seorang sosiolog komunikasi di Semarang, sebagai narasumber mengatakan bahwa media Indonesia belakangan ini memang sangat berperan dalam membuat masyarakat kian irasional. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa media berpotensi dalam menginspirasi pelaku dalam menjalankan aksinya. Disini,media memberikan pengetahuan baru, memberikan stimulasi dan dorongan melalui acara-acara khusus yang mengungkap lebih dalam tentang kriminalitas. Ia mencontohkan beragam tayangan seperti Patroli di SCTV , Buser dan Sergap di RCTI.


Social Learning Theory (Bandura,1997), mengasumsikan bahwa kita cenderung melakukan kekerasan setelah terpapar kekerasan itu sendiri. Sehingga, teori ini cukup relevan dengan kasus kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari media televisi sebagai inspiratornya. Disisi lain, Analisis kuttivasi yang dilakukan Gerbner lebih mengarah pada rasa takut yang diciptakan televisi oleh karena tayangan yang mencerminkan dunia yang kejam dan berbahaya. Jakarta, sebagai kota metropolitan, dapat dikatakan memiliki tingkat kejahatan yang cukup tinggi. Jakarta dinilai masyarakat sebagai kota yang marak akan kasus kriminal dan kurang aman. Masyarakat menilainya dari tayangan televisi yang memberikn tontonan mengenai berbagai kejahatan dan kriminalitas yang tejadi di ibu kota setiap harinya dengan kasus yang beragam pula.


Fenomena yang tidak kalah menariknya adalah semakin maraknya budaya transgender dikalangan orang-orang yang berkecimpung didunia pertelevisian. Saat ini, tidak sedikit presenter pria yang memiliki kecenderungan berperilaku kewanita-wanitaan. Televisi berhasil menjual karakter yang dulu ada diluar mainstream. George Gerbner memperkenalkan istilah “mainstreaming” yaitu proses mengikuti arus utama yang terjadi ketika berbagai simbol, informasi dan ide yang ditayangkan Televisi mendominasi atau mengalahkan simbol, informasi, dan ide yang berasal dari pihak lain. Dengan kata lain, saat ini fenomena laki-laki yang berperan layaknya wanita sudah menjadi hal yang biasa di mata publik.
Dimensi lain dalam mengkritisi televisi adalah kemampuannya dalam membuat bias atau pemburaman mengenai realitas yang ada. Dalam hal ini, pemburaman merupakan sebuah konsekuensi sosial yang harus dihadapi dengan hadirnya media televisi.


“Bias media televisi”, sebuah konsekuensi sosial

Media Televisi untuk kesekian kalinya, dikritisi sebagai sesuatu yang dapat menguraikan fondasi nilai masyarakat dari nilai-nilai intinya. Budaya yang tercipta dari televisi direfleksikan secara nyata di kehidupan masyarakat pada umumnya. Joshua Meyrowitz (1985) menyimpulkan bahwa media telah menyebabkan memburamnya peranan dan tempat yang tadinya jelas. Terkadang, tanpa kita sadari, kita telah termanipulasi oleh televisi. Sistem kepercayaan dapat saja terpengaruh secara negatif oleh televisi.
Harold Adams Innis (1951) memiliki persepsi berbeda mengenai bias. Menurutnya, media dipergunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi. Karena itu, mereka berusaha mengubah susunan sosial dari seuah masyarakat. Lebih lanjut lagi, Innis mengklaim bahwa media memiliki bias yang ada dalam diri mereka untuk mengendalikan aliran ide di dalam sebuah masyarakat. Dalam hal ini, persepsi masyarakat secara otomatis akan terbiaskan pula.


Dapat dikatakan, media di Indonesia saat ini dipenuhi oleh unsur kepentingan dimana masing-masing kepentingan itu saling bersaing layaknya sebuah kompetisi. Setelah berakhirnya orde baru, media yang dulu dikuasai rezim Soeharto atas nama pemerintah, kini media dikuasai oleh pemilik modal yang berkepentingan. Seperti TV One dan ANTV yang dikuasai oleh Bakrie Group, Metro TV yang dikuasai oleh pemilik media Group, Surya Paloh. Nuansa politik terkadang tercium secara eksplisit, namun sering juga dikemas secara implisit. Tidak jarang, masing-mang dari media tersebut menjatuhkan kompetitornya dengan memberitakan hal yang sedikit mengungkapkan aib atau kelemahan dari pihak lain.


Perubahan Psikologi individu

Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mengidentifikasi karakter dari media televisi. Karakter-karakter yang dibangun dalam televisi, mengarah pada peran yang dimainkan layaknya realitas sebenarnya.Di dalam buku karya Leo W. Jeffres yang berjudul Mass Media (Processes and Effect) disebutkan bahwa media berpotensi besar dalam membangun sifat agresif dikarenakan tayangan kekerasan yang sering ditampilkan. Seorang ethnologist yang bernama Konrad Lorentz, 1966, menggambarkan agresif sebagai insting menyerang yang dimiliki oleh hewan dan manusia yang diarahkan kepada sesamanya. Tidak jauh berbeda, Baron, 1977, mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang diarahkan untuk tujuan melukai atau mencederai orang lain.
Kekerasan dan sifat agresif menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, kekerasan yang ditimbulkan seseorang berawal dari sifat agresif yang dimiliki oleh individu. Jumlah tayangan mengenai kekerasan dapat diibaaratkan sebagai sebagai stimuli aktif yang memberikan rangsangan, bahwa hal yang ditampilkan dalam layar kaca adalah sebuah kebenaran.
Didalam sebuah penelitian terungkap bahwa anak yang banyak menonton tayangan kartun yang penuh dengan kekerasan, cenderung memiliki sifat agresif ketika berinteraksi dengan temanya. Disisi lain, anak yang menonton kartun tanpa kekerasan, tidak menunjukkan sifat agresif ketika berinteraksi. Lantas, apa yang membuat kedua hal tersebut sangat signifikan? Albert Bandura menjelaskan fenomena tersebut dalam teori Observational Learning miliknya. Ia menjeaskan pada mulanya, anak-anak akan mempelajari sejumlah perilaku melalui tayangan yang ditontonnya. Kemudian, mereka melakukan imitasi atau menerapkan perilaku tersebut dalam interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini, anak-anak percaya bahwa tayangan kekerasan yang mereka lihat di televisi adalah realitas hidup yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, Televisi merupakan media yang memiliki akses paling besar untuk menjangkau masyarakat. Media Televisi sebagai media yang memiliki kekuasaan yang luas dan misterius, benar-benar menjadi magnet yang kuat dalam proses mempengaruhi khalayak. Berbagai hal negatif yang ditimbulkan oleh televisi bisa saja diminimalisir jika setiap orang berfikir dengan memakai jalur sentral ketika menonton tayangan televisi. Dengan menggunakan jalur sentral, informasi yang didapatkan tidak langsung begitu saja dicerna, namun dikritisi terlebih dahulu.















DAFTAR PUSTAKA


Referensi buku:
Jeffres, Leo.W. 1986. Mass Media (Processes and Effect). United States of America: Waveland Press, Inc. Edisi ke-5.
Morissan. 2010. Psikologi Komunikasi.Bogor :Ghalia Indonesia.
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
West, Richard dan Lynn H.Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi (Analisis dan Aplikasi) .Salemba Humanika
Surbakti. 2008. Awas Tayangan Televisi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Sumber situs internet :
www. voa-islam.com diakses pada tanggal 13 November 2010 pukul 14.00 WIB
situs milik Radio Nederland Wereldomroep diakses pada tanggal 13 November 2010 pukul 14.00 WIB

Tidak ada komentar: