Senin, 22 November 2010

SKEPTISISME


Sebuah Dilema Antara Keraguan dan Pengakuan





Budaya dalam masyarakat kita, seringkali mengaburkan kebenaran yang lebih pasti atau lebih sempurna yang sebenarnya ada di depan mata kita. Ketika masa kanak-kanak, orangtua biasanya khawatir terhadap anak mereka yang terlalu sering bertanya atau mempertanyakan sesuatu yang mereka anggap tidak sesuai dengan jalan pikiran mereka. Orang tua akan mulai takut jika anak mempunyai pemikiran yang berlawanan mengenai suatu hal yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak. Pemikiran anak-anak yang berlawanan dengan pemikiran orang tua tersebut, lantas terhapuskan begitu saja. Anak dipaksa mengikuti jalur yang telah ada, tanpa harus mengerti dan memilih. pemikiran itu lantas seperti terkurung dan kemudian mati dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Budaya tersebut, yang akhirnya menumpulkan kemampuan dari kebanyakan masyarakat Indonesia untuk meragukan setiap kebenaran yang telah disebutkan atau dipaparkan oleh kebanyakan orang. Pemikiran kritis yang mampu menguak kebenaran yang lebih benar seakan tumpul begitu saja.

Sikap skeptis, yang dalam bahasa Yunani berarti mempertanyakan atau ketidakpercayaan mengarah kepada sebuah sikap keraguan atau tidak mengakui adanya pernyataan tertentu yang menyangkut objek tertentu. Di dalam buku karya Sonny A. Kerraf dan Mikhael Dua yang berjudul Persoalan-persoalan filsafat disebutkan bahwa sikap dasar skeptis adalah bahwa kita tidak pernah tau tentang apa pun. Dalam konteks lain, manusia merasa ragu dan tidak yakin apakah ia bisa mencapai pengetahuan tertentu.
Lebih jauh lagi dipaparkan oleh buku tersebut bahwa skeptisime ternyata sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno, pada sebuah kaum yang bernama Sofis. Kaum sofis beranggapan bahwa manusia adalah ukuran dari segala-galanya, oleh karena itu mereka selalu meragukan kemungkinan pengetahuan akan alam. Bagi kaum Sofis, pengetahuan hanyalah konstruksi sosial manusia itu sendiri dan tidak ada realitas nyata yang bisa diketahui selain konstruksi manusia mengenai realitas tersebut. Dengan kata lain, tidak ada kata “kepastian” di dalam kamus orang-orang skeptis.


Dalam hal skeptisisme, David Hume(1711-1776) seorang filsuf dari Skotlandia, mencurigai pemikiran filsafat dan salah satu pemikirannya adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. David Hume adalah seorang agnostik yaitu orang yang meyakini bahwa adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, namun kebenaran Tuhan tidak dapat diingkari.

Ada beberapa pandangan skeptisisme yang disebutkan oleh Descartes. Pertama adalah persepsi manusia bahwa Ia telah mengetahui segala hal di dunia ini,namun ternyata tidak. Descartes mengemukakan tentang masalah eksistensialisme, apakah manusia yakin mengetahui kebenaran tentang keberadaan mereka di dunia ini? Tentang pikiran yang mengendalikan system pengetahuan dalam otak kita yang diinjeksikan oleh para monster jahat yang mengambil alih kehidupan manusia? Tentang bagaimana Tuhan dilibatkan dalam substansi filsafat kehidupan, sehingga semua ilmu pengetahuan riil seketika lenyap oleh adanya mukjizat?. Pandangan-pandangan tersebut seringkali mengundang kritik tajam dari beberapa kalangan. Pemikiran-pemikiran yang tidak biasa memang seringkali menuai kontroversi pada awalnya. Namun, sesungguhnya skeptisisme telah berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Pemikiran kritis dan tidak cepat mengakui klaim dan kebenaran yang dipaparkan, akan mendorong terwujudnya lompatan penelitian yang lebih jauh dan mendalam dalam pencarian kebenaran yang lebih sempurna daripada sebelumnya.

Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kelompok lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.

Pandangan kedua, mengenai kejelekan dari skeptisisme itu sendiri adalah dengan munculnya skeptis terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, lingkup skeptisisme berada dalam mindself atau pikiran kita sendiri atau tidak melibatkan pihak luar sama sekali. Pandangan skeptis terhadap diri sendiri merupakan sesuatu yang tidak terjamah, diluar ilmu transeden yang dikemukan diatas. Misalnya : banyak kasus bunuh diri yang terjadi karena perasaan skeptis terhadap diri sendiri. Perasaaan ketakutan, ketidakpercayaan dan keraguan dalam hidup. Mereka merasa tidak yakin akan masa depan dan terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mencerca di dalam pikiran mereka. Padahal dalam kasus-kasus ini, manusia memegang andil untuk mengetahui jawabannya. Jadi kunci bukan dipegang oleh yang tak tersentuh, melainkan oleh kekuatan diri. Menjawab ketidakpastian atas sesuatu yang dipertanyakan..

Kemudian, skeptisisme berikutnya, sering dikaitkan dalam ateisme. Sebenarnya, skeptis mengenai agama itu wajar karena manusia memiliki indera yang ditakdirkan untuk melihat benda konkrit yang nyata dan dirasakan oleh indrawi seutuhnya. Benda abstrak hanya bisa dilihat melalui keyakinan dan pemahaman. Bertanya tentang apa yang menjadi agamanya itu wajar - apalagi agama sudah didogma pada manusia sedari kecil, oleh karena itu saya pernah meragukan ajaran agama saya dan saya bertanya kepada orang-orang. Namun sayang reaksi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya langsung di-judge tidak boleh ragu, dipandang sebelah mata oleh kakak kelas agamis dengan jawabannya, "Kenapa harus bertanya tentang Tuhan sih? Kenapa kamu tidak ikuti skenarionya saja?". Itu melarang hak manusia untuk berpikir, namanya. Pertanyaan-pertanyaan itu seketika tumpul dan arah arus kembali kejalurnya lagi.

Di dalam buku karya Sigmund Freud yang berjudul Interpretation of Dream (1890), Freud melihat agama layaknya seorang anak kecil yang ingin menyelesaikan masalah nyata dengan wishful thinking. Manusia mulai mengharapkan keselamatan secara pasif dari Tuhan daripada mencari jalan untuk mengusahakannya sendiri dan mengembangkan potensinya. Manusia mengharapkan sebuah penyelamat yang memang tidak pernah ada. Parahnya, ini dialami oleh semua orang, sehingga Freud menyebutnya dengan neurosis kolektif. Neurosis adalah dasar teori Freud. Neurosis terjadi apabila orang bereaksi tidak adekuat atas suatu pengalaman yang amat emosional. Tanpa disadari, konflik emosional kadang memunculkan perilaku yang seperti tidak ada hubungannya. Freud beranggapan agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya dapat saja tercapai. Satu perkataannya yang saya kutip, "Religion is an illusion and it derives its strength from its readiness to fit in with our instinctual wishful impulses." —Sigmund Freud (diambil dari ebook, 'The Atheist Bible')

Kebanyakan orang melihat hal tersebut sebagai sebuah pemahaman yang negatif. Banyak kasus yang terjadi dikarenakan oleh fanatisme yang berlebihan dari sekelompok ormas yang merasa harus menegakkan kebenaran dari apa yang mereka yakini, tanpa memandang agama dari sudut pandang lain yang lebih hakiki. Kritik dan cercaan akan terus muncul kepada kaum marjinal yang berlawanan pola pikir dengan mereka. Contohnya saja kasus penyerangan yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam) kepada jamaah islamiyah yang mereka anggap telah menodai agama. Mereka menghancurkan, menyakiti dan menghakimi setiap orang yang tergabung di dalamnya. Pada intinya, kritik dan penolakan terjadi dikarenakan mereka terlalu takut jatuh terlalu dalam atas ideologi tertentu yang diungkapkan oleh orang lain. Kebanyakan, orang tak cukup tau mengenai agama yang mereka yakini sendiri. Sehingga muncul rasa takut ideologi mereka akan tercampur dan ideologi baru tersebut akan tersebar. Seolah, semua sudah diatur sejak lahir. Skenario sudah dibuat dan kita sudah selayaknya berakting sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Tidak perlu ragu dan mempertanyakan apalagi menggantinya.

Di dalam konteks lain mengenai ktitik dan penolakan atas skeptisime agama, skeptisisme merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)." (Merriam–Webster). Yang menjadi kontradiksi adalah, orang akan memandang sebelah mata dan beranggapan bahwa keraguan akan Tuhan akan membawa manusia menuju kehancuran. Mereka beranggapan seperti itu dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak mengerti, bahwa dalam agama, terdapat dimensi intelektual. Bukan untuk merasionalkan agama (karena yang rasional namanya science) tetapi untuk bertanya tentang apa yang dianutnya. Bagi saya, totalitas orang beragama bukan hanya menganut apa yang diturunkan orang tua, tetapi mendalaminya dengan pertanyaan. Dan bagi saya, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang berasal dari keraguan.









DAFTAR PUSTAKA

Kerraf. A. Sonny and Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
ebook, 'The Atheist Bible' karya Sigmund Fleur
Titus; Harold. 1984. Persoalan-persoalan filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
www.wikipedia.org

sumber gambar :  http://www.dascot.org/depression/sad.html

1 komentar:

Higsweart Benetz mengatakan...

follow blog Q mba...