Selasa, 23 November 2010

perjalanan

tanggal  17 november yang lalu.. aku menempuh perjalanan menuju kampung halaman di Kebumen Jawa Tengah..
hampir sebualan lebih ga ketemu kedua orang tua,,
perjalanan dimulai dengan menaiki bus jurusan jogjakarta (karena pada saat itu bus jurusan kebumen sedikit). teman sebangkuku seorang kakek yang baru saja hendak pulang dari mengungsi ditempat anaknya di kota jepara...

banyak hal yang beliau ceritakan kepada saya pada waktu itu..
mulai dari cerita mistik dibalik meletusnya gunung berapi sampai kisah sedihnya ketika bencana itu terjadi..
sebagai masyarakat jawa, cerita mengenai hubungan nyai roro kidul, penunggu merapi dan Sri Sultan mungkin masih agak bisa saya terima,,,(walaupun tak masuk akal)

sesampainya di Magelang, aku harus berganti bus.. dan kali ini, seorang ibu paruh baya menjadi teman perjalananku..
hmmm.. perjalananku kali ini kurang menyenangkan karena harus mendengarkan seluruh cerita ibu2 tersebut yang menurut saya ( ga penting..)
dimulai dengan cerita tentang anak2nya yang pandai.. kekayaannya dan saudara2nya.. sampai fasilitas yang ia berikan pada anak2nya.. ceritanya mulai melebar2 sampai biaya yang ia keluarkan setiap minggu, bulan, bahkan setahun.. wow!

dan smua itu membuat saya mengantuk...



saya jadi ingat di dalam buku Psikologi Komunikasi, ada istilah bernama Conversational Narcissm..
ternyata, ga hanya wajah aja yang bisa narsis..namun juga percakapan..
setiap individu memiliki kecenderungan untuk lebih menceritakan dirinya sendiri dibanding mendengarkan orang lain,,,
keinginan untuk menjadi dominan dalam setiap percakapan membuat seseorang (secara sadar atau tidak sadar) lebih senang membicarakan tentang diri atau kepentingannya masing-masing..

saya belajar dari itu semua karena, coba bayangkan! tempatkan diri kita ke posisi orang lain.. ketika kita berbicara dengan orang lain, kita tidak mau khan, membuat orang lain tak nyaman dengan pembicaraan kita?
oleh karena itu, kebiasaan belajar untuk mendengarkan, juga harus kita galakkan...:)



sumber gambar :http://www.gamequarters.net/?p=496

Senin, 22 November 2010

SKEPTISISME


Sebuah Dilema Antara Keraguan dan Pengakuan





Budaya dalam masyarakat kita, seringkali mengaburkan kebenaran yang lebih pasti atau lebih sempurna yang sebenarnya ada di depan mata kita. Ketika masa kanak-kanak, orangtua biasanya khawatir terhadap anak mereka yang terlalu sering bertanya atau mempertanyakan sesuatu yang mereka anggap tidak sesuai dengan jalan pikiran mereka. Orang tua akan mulai takut jika anak mempunyai pemikiran yang berlawanan mengenai suatu hal yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak. Pemikiran anak-anak yang berlawanan dengan pemikiran orang tua tersebut, lantas terhapuskan begitu saja. Anak dipaksa mengikuti jalur yang telah ada, tanpa harus mengerti dan memilih. pemikiran itu lantas seperti terkurung dan kemudian mati dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Budaya tersebut, yang akhirnya menumpulkan kemampuan dari kebanyakan masyarakat Indonesia untuk meragukan setiap kebenaran yang telah disebutkan atau dipaparkan oleh kebanyakan orang. Pemikiran kritis yang mampu menguak kebenaran yang lebih benar seakan tumpul begitu saja.

Sikap skeptis, yang dalam bahasa Yunani berarti mempertanyakan atau ketidakpercayaan mengarah kepada sebuah sikap keraguan atau tidak mengakui adanya pernyataan tertentu yang menyangkut objek tertentu. Di dalam buku karya Sonny A. Kerraf dan Mikhael Dua yang berjudul Persoalan-persoalan filsafat disebutkan bahwa sikap dasar skeptis adalah bahwa kita tidak pernah tau tentang apa pun. Dalam konteks lain, manusia merasa ragu dan tidak yakin apakah ia bisa mencapai pengetahuan tertentu.
Lebih jauh lagi dipaparkan oleh buku tersebut bahwa skeptisime ternyata sudah berkembang sejak zaman Yunani kuno, pada sebuah kaum yang bernama Sofis. Kaum sofis beranggapan bahwa manusia adalah ukuran dari segala-galanya, oleh karena itu mereka selalu meragukan kemungkinan pengetahuan akan alam. Bagi kaum Sofis, pengetahuan hanyalah konstruksi sosial manusia itu sendiri dan tidak ada realitas nyata yang bisa diketahui selain konstruksi manusia mengenai realitas tersebut. Dengan kata lain, tidak ada kata “kepastian” di dalam kamus orang-orang skeptis.


Dalam hal skeptisisme, David Hume(1711-1776) seorang filsuf dari Skotlandia, mencurigai pemikiran filsafat dan salah satu pemikirannya adalah bahwa prinsip kausalitas (sebab akibat) itu tidak memiliki dasar. David Hume adalah seorang agnostik yaitu orang yang meyakini bahwa adanya Tuhan tidak dapat dibuktikan, namun kebenaran Tuhan tidak dapat diingkari.

Ada beberapa pandangan skeptisisme yang disebutkan oleh Descartes. Pertama adalah persepsi manusia bahwa Ia telah mengetahui segala hal di dunia ini,namun ternyata tidak. Descartes mengemukakan tentang masalah eksistensialisme, apakah manusia yakin mengetahui kebenaran tentang keberadaan mereka di dunia ini? Tentang pikiran yang mengendalikan system pengetahuan dalam otak kita yang diinjeksikan oleh para monster jahat yang mengambil alih kehidupan manusia? Tentang bagaimana Tuhan dilibatkan dalam substansi filsafat kehidupan, sehingga semua ilmu pengetahuan riil seketika lenyap oleh adanya mukjizat?. Pandangan-pandangan tersebut seringkali mengundang kritik tajam dari beberapa kalangan. Pemikiran-pemikiran yang tidak biasa memang seringkali menuai kontroversi pada awalnya. Namun, sesungguhnya skeptisisme telah berperan dalam kemajuan ilmu pengetahuan. Pemikiran kritis dan tidak cepat mengakui klaim dan kebenaran yang dipaparkan, akan mendorong terwujudnya lompatan penelitian yang lebih jauh dan mendalam dalam pencarian kebenaran yang lebih sempurna daripada sebelumnya.

Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kelompok lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.

Pandangan kedua, mengenai kejelekan dari skeptisisme itu sendiri adalah dengan munculnya skeptis terhadap diri sendiri. Dalam hal ini, lingkup skeptisisme berada dalam mindself atau pikiran kita sendiri atau tidak melibatkan pihak luar sama sekali. Pandangan skeptis terhadap diri sendiri merupakan sesuatu yang tidak terjamah, diluar ilmu transeden yang dikemukan diatas. Misalnya : banyak kasus bunuh diri yang terjadi karena perasaan skeptis terhadap diri sendiri. Perasaaan ketakutan, ketidakpercayaan dan keraguan dalam hidup. Mereka merasa tidak yakin akan masa depan dan terlalu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mencerca di dalam pikiran mereka. Padahal dalam kasus-kasus ini, manusia memegang andil untuk mengetahui jawabannya. Jadi kunci bukan dipegang oleh yang tak tersentuh, melainkan oleh kekuatan diri. Menjawab ketidakpastian atas sesuatu yang dipertanyakan..

Kemudian, skeptisisme berikutnya, sering dikaitkan dalam ateisme. Sebenarnya, skeptis mengenai agama itu wajar karena manusia memiliki indera yang ditakdirkan untuk melihat benda konkrit yang nyata dan dirasakan oleh indrawi seutuhnya. Benda abstrak hanya bisa dilihat melalui keyakinan dan pemahaman. Bertanya tentang apa yang menjadi agamanya itu wajar - apalagi agama sudah didogma pada manusia sedari kecil, oleh karena itu saya pernah meragukan ajaran agama saya dan saya bertanya kepada orang-orang. Namun sayang reaksi yang diterima tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya langsung di-judge tidak boleh ragu, dipandang sebelah mata oleh kakak kelas agamis dengan jawabannya, "Kenapa harus bertanya tentang Tuhan sih? Kenapa kamu tidak ikuti skenarionya saja?". Itu melarang hak manusia untuk berpikir, namanya. Pertanyaan-pertanyaan itu seketika tumpul dan arah arus kembali kejalurnya lagi.

Di dalam buku karya Sigmund Freud yang berjudul Interpretation of Dream (1890), Freud melihat agama layaknya seorang anak kecil yang ingin menyelesaikan masalah nyata dengan wishful thinking. Manusia mulai mengharapkan keselamatan secara pasif dari Tuhan daripada mencari jalan untuk mengusahakannya sendiri dan mengembangkan potensinya. Manusia mengharapkan sebuah penyelamat yang memang tidak pernah ada. Parahnya, ini dialami oleh semua orang, sehingga Freud menyebutnya dengan neurosis kolektif. Neurosis adalah dasar teori Freud. Neurosis terjadi apabila orang bereaksi tidak adekuat atas suatu pengalaman yang amat emosional. Tanpa disadari, konflik emosional kadang memunculkan perilaku yang seperti tidak ada hubungannya. Freud beranggapan agama menggagalkan kemungkinan manusia untuk mengembangkan diri dan untuk mencapai tingkat kebahagiaan yang sebenarnya dapat saja tercapai. Satu perkataannya yang saya kutip, "Religion is an illusion and it derives its strength from its readiness to fit in with our instinctual wishful impulses." —Sigmund Freud (diambil dari ebook, 'The Atheist Bible')

Kebanyakan orang melihat hal tersebut sebagai sebuah pemahaman yang negatif. Banyak kasus yang terjadi dikarenakan oleh fanatisme yang berlebihan dari sekelompok ormas yang merasa harus menegakkan kebenaran dari apa yang mereka yakini, tanpa memandang agama dari sudut pandang lain yang lebih hakiki. Kritik dan cercaan akan terus muncul kepada kaum marjinal yang berlawanan pola pikir dengan mereka. Contohnya saja kasus penyerangan yang dilakukan oleh FPI (Front Pembela Islam) kepada jamaah islamiyah yang mereka anggap telah menodai agama. Mereka menghancurkan, menyakiti dan menghakimi setiap orang yang tergabung di dalamnya. Pada intinya, kritik dan penolakan terjadi dikarenakan mereka terlalu takut jatuh terlalu dalam atas ideologi tertentu yang diungkapkan oleh orang lain. Kebanyakan, orang tak cukup tau mengenai agama yang mereka yakini sendiri. Sehingga muncul rasa takut ideologi mereka akan tercampur dan ideologi baru tersebut akan tersebar. Seolah, semua sudah diatur sejak lahir. Skenario sudah dibuat dan kita sudah selayaknya berakting sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Tidak perlu ragu dan mempertanyakan apalagi menggantinya.

Di dalam konteks lain mengenai ktitik dan penolakan atas skeptisime agama, skeptisisme merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)." (Merriam–Webster). Yang menjadi kontradiksi adalah, orang akan memandang sebelah mata dan beranggapan bahwa keraguan akan Tuhan akan membawa manusia menuju kehancuran. Mereka beranggapan seperti itu dikarenakan kebanyakan dari mereka tidak mengerti, bahwa dalam agama, terdapat dimensi intelektual. Bukan untuk merasionalkan agama (karena yang rasional namanya science) tetapi untuk bertanya tentang apa yang dianutnya. Bagi saya, totalitas orang beragama bukan hanya menganut apa yang diturunkan orang tua, tetapi mendalaminya dengan pertanyaan. Dan bagi saya, kebenaran yang hakiki adalah kebenaran yang berasal dari keraguan.









DAFTAR PUSTAKA

Kerraf. A. Sonny and Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
ebook, 'The Atheist Bible' karya Sigmund Fleur
Titus; Harold. 1984. Persoalan-persoalan filsafat. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
www.wikipedia.org

sumber gambar :  http://www.dascot.org/depression/sad.html

Sabtu, 20 November 2010

cinta..

saat ini, aku ingin sedikit berbicara mengenai cinta.. setiap orang, aku yakin di dalam kehidupan mereka, terjadi banyak sekali cerita mengenai cinta..
tulisan dibawah ini, aku buat ketika aku merasakan kegagalan ketika menjalin sebuah hubungan..
ketika masa-masa itu berakhir, sadar tak sadar, aku telah menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya..


Cinta..
Seringkali Ia datang dan pergi tanpa kita sadari..
Hadir dalam sunyi..
Pergipun tanpa terdengar jejak langkahnya..
............
Banyak orang yang menyangka bahkan mengumandangkan bahwa cinta yang saat ini mereka rasakan kepada seseorang adalah kekal..abadi dan takkan terganti..
Namun..
Tak ada yang mengira..
Tak ada yang menyangka..
Perjalanan hidup begitu rapinya dalam menyembunyikan jalan kisah insan manusia..
Semua bisa terbalik hanya dalam kedipan mata..
Bahkan ketika semua kisah itu terbalik dan berputar sangat cepatnya..
Angin seolah menertawakan kita yang begitu bodoh terombang-ambing olehnya..
.............
Satu helaan nafas setidaknya bisa mengurangi segala derita..
Setiap perputaran siklus kehidupan..
Kontradiksi antara sebuah realitas dan mimpi, kadang dapat mengaburkan segalanya..
Segalanya..
Hanya bisa berharap..
Semua berakhir dengan indah..
Agar penyesalan akan masa lalu, bisa menjadi sebuah gurauan di masa depan..
.................
Semoga,teman...

Audit Komunikasi

Kuliah Umum Audit Komunikasi
Prof. Andre Hardjana
Gedung Pascasarjana UNDIP lt.1 tanggal 2 november 2010


Audit Komunikasi, yang didefinisikan oleh Prof.Andre Hardjana pada awalnya adalah keahlian dibidang organisasi dan bisnis berupa pengukuran-pengukuran dalam konteks komunikasi.
Menurut Howard H. Greenbaum(1974:374;1976:5)
Audit Komunikasi adalah sebuah struktur konseptual dan metodologis untuk pemeriksaan komunikasi dalam organisasi. Audit Komunikasi dapat menjamin bahwa pemeriksaan atau monitoring organisasi secara dini dapat membantu tindakan pencegahan yang lebih baik daripada tindakan perbaikan khususterhadap persoalan-persoalan komunikasi organisasi.
Latar belakang dialakukannya audit komunikasi yaitu pada saat terjadinya embargo OPEC pada tahun 1973 yang berdampak perusahaan-perusaahaan minyak besar di dunia menyadari bahwa komunikasi dalam perusahaannya kurang, begitu juga relation communication antara perusahaan dengan pihak lain. Sehingga mereka menggunakan komunikasi sebagai coorporate strategy.
Sedangkan menurut Gerald M.Goldhaber (1985:322;1993:348)
Audit Komunikasi merupakan seperangkat teknik-tekhnik analisis ilmiah yang menyeluruh untuk merencanakan intervensi dan mengembangkan strategi-strategi perbaikan komunikasi organisasi.
Ciri-ciri audit :
a. Kajian yaitu riset atau penelitian dengan implikassi kebijakan atau sistem.
b. Ilmiah : dapat dipertanggungjawabkan karena mengandung data-data empiris.
c. Karya spesialis : merupakan hasil kerja konsultan profesional yang berasal dari internal ataupun eksternal organisasi.
d. Gambar ataupun protet dari iklim komunikasi yang ada ataupun terjadi.
e. Menyeluruh
f. Cermat
g. Diagnosis
h. Rekomendasi : dalam konteks ini, rekomendasi haruslah dibuat sejelas mungkin.

Langkah-langkah dalam audit komunikasi
1. Diagnosis
2. Akumulasi data :
Merupakan deskripsi atau potret atau gambaran praktek saat ini. Data yang digunakan harus data nyata bukan data fiktif.
3. Analisis : membandingkan data yang ada, dengan sistem yang digunakan.
4. Evaluasi : membandingkan data yang ada dengan hasil yang ingin dicapai.
5. Rekomendasi : kesimpulan dan masa depan yang disertai resep langkah-langkah yang konkret.
Tujuan Akhir dari proses audit komunikasi
Evaluasi Kriteria
1. Efektivitas &Efisiensi
2. Akuntabilitas
Merupakan bentuk tanggung jawab dan juga keterbukaan
3. Komitmen
Komitmen berasal dari anggota organisasi dan juga eksternal organisasi.
4. Etika
Dalam menjalankan audit komunikasi, tidak diperkenankan adanya disinformasi atau kebohongan ataupun fitnahan.

Rekomendasi :
berupa langkah perbaikan yaitu:
1. Sistem baru / kebijakan baru / perubahan dan inovasi / tekhnologi baru
Dengan sistem baru, maka akan mendorong kemajuan organisasi.
2. Akuntabilitas
Akuntabilitas lebih diperjelas
3. Komitmen
Memperkuat tujuan tiap anggota
4. Etika

Ruang Lingkup
Latar belakang dialkukannya audit komunikasi adalah pimpinan melihat adanya indikasi penurunan sistem komunikasi organisasi sehingga mereka kemudian mencari konsultan.

Sistem adalah kebijakan organisasi secara keseluruhan, seluas, dan sedalam tuntutan dan kompleksitas organisasi, program-program seluruh organisasi. Kegiatan khusus meliputi program satu bagian, divisi, departemen, projek, kampanye, kelompok karyawan khusus, rapat, dll.
Menururut Howard Greenbaum (1974) komunikasi strategis adalah rencana strategik dari jaringan komunikasi fungsional untuk mencapai tujuan-tujuan komunikasivia kegiatan-kegiatan komunikasi yang sesuai dengan disain organisasi. Struktur sosial merupakan jaringan formal.

Audit system merupakan keseluruhan dari sistem yang meliputi :
1. Tujuan dan rencana organisasi
Tujuan adalah sesuatu yang henda dicapai oleh organisasi.
2. Kebijakan komunikasi
3. Kegiatan-kegiatan komunikasi
Tergantung pada tingkatan komunikasi : individu-kelompok-organisasi. Setidaknya, semua mempunyai rencana kegiatan formal yang berkaitan dengan tujuan. Fungsi komunikasi adalah informatif, regulatif, persuasif dan integratif
4. Kegiatan-kegiatan dengan umpan balik.
Kegiatan kelompok atau unit kerja harus ada umpan balik dari lembaga, begitu juga sebaliknya.
5. Sarana-sarana pemeliharaan sistem

Lankah-langkah dalam audit :
Audit : riset analisis data evaluasi rekomendasi kebijakan baru : berupa perubahan atau perbaikan kebijakan.

Tujuan dilakukannya audit, menurut Goldhaber (1985:8) yaitu :
 Untuk menentukan kelebihan atau kekurangan informasi untuk topik-topik penting, sumber-sumber, dan saluran-saluran komunikasi.
 Mengevaluasi kualitas hubungan komunikasi, khususnya mengukur tingkat kepercayaan (trust), dukungan , keramahan, dan kepuasan kerja secara keseluruhan.
 Mengetahui jaringan komunikasi operasional.
 Menentukan kemungkinan munculnya bottleneck dan gatekeepers informasi dengan membandingkan peran-peran komunikasi personil kunci dengan peran yang diharapkan.

Pendekatan yang digunakan :
1. Pendekatan konspetual
2. Pendekatan survey
3. Pendekatan prosedur

Metode yang dipakai meliputi :
1. Survey
Mencari data empirik di lapangan.
2. Wawancara mendalam
3. Analisis jaringan
4. Pengalaman komunikasi
5. Catatan harian
Sesuatu yang perlu ditekankan adalah audit harus betul-betul memberikan data yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tekhnik yang digunakan diantaranya, tekhnik observasi, tkhnik wawancara dan tekhnik analisis isi.

Audit Komunikasi strategis

Audit Komunikasi startegis menurut Prof. Andre Hardjana yaitu kajian mendalam dan menyeluruh tentang pelaksanaan sistem komunikasi organisasi yang bertujaun untuk meningkatkan efekivitas organisasi.

Ciri-ciri audit komunikasi strategis
 Nilai evaluatif dan formatif : sebelum melakukan kegiatan komunikasi, organisasi harus mengetahuui apa yang terjadi dalam masyarakat. Pengetahuan untuk meninjau hal yang lalu.
 Evaluatif : gambar kinerja atau kapasitas dalam kondisi saat ini.
 Formatif : menunjukkan wilayah yang dapat memperkuat kinerja.
 Organisasi : keseluruhan / spesifik / kampanye dalam organisasi
 Audit : evaluator luar maupun dalam
 Audit : kajian 5 langkah

Secara strategis, prakteknya :
1. Strategi
Identifikasi visi ; pilih tujuan dan hasil ; pilih khalayak sasaran; mengembangkan pesan-pesan ; identifikasi pewarta terpercaya ; pilih mekanisme komunikasi atau penyebar info ; memantau konteks dan persaingan.
2. Implementasi
Mengembangkan materi yang efektif; membangun kemitraan yang penting ; melatih penyampai pesan ; menjangkau khalayak terus menerus ; memantau dan mengevaluasi.
3. Dukungan dan Integrasi
Dukungan dari jajaran pimpinan eksekutif ; penyedia sumber dana yang mencukupi ; mengintegrasikan komunikasi ke seluruh organisasi ; melibatkan staff di semua tingkatan.

Identifikasi tataran praktek
Kedewasaan dalam kemampuan berkomunikasi. Maturity scala adalah skala kedewasaan kemampuan bekerja.

Tataran 1
Praktek komunikasi ad hoc dan tidak terorganisasi. Merupakan suatu kebetulan atau tidak terencana.


Tataran 2
Praktek terencana dan terarah atau bukan reaktif terhadap situasi.

Tataran 3
Terinstitusional dan terkoordinir. Praktek-praktek diketahui dan dikoordinasi di dalam (intenal) maupun ke luar (eksternal organisasi).

Tataran 4
Kinerja diukur. Ukuran kinerja dan kemajuan dihimpun dan dianalisis.

Tataran 5.
Mendapat pertimbangan teratur. Penanggung jawab pelaksana diajak bicara pimpinan melalui komunikasi formal maupun informal

Televisi, Sebuah Mesin Pencipta Realitas

Televisi, Sebuah Mesin Pencipta Realitas
(Industri televisi dalam perspektif kritis)

“Television is a centralized system of story-telling. It’s part and parcel of our daily lives. Its drama, commercials, news and other programs bring relatively coherent world of common images and messages into every home. Television cultivates from infancy the very predisposition and preferences that used to be acquired from other primary source..... The repetitive pattern of television’s mass produced messages and images forms the mainstream of a common symbolic environment”
- George Gerbner, 1969

Indonesia, sebagai negara demokrasi yang dahulu dikenal mempunyai tiga pilar demokrasi, kini dapat dianggap telah memiliki pilar keempatnya. Pilar yang keempat itu disebut-sebut sebagai sesuatu yang mempunyai kekuasaan luas dan juga misterius. Sesuatu itu bernama press. Press yang melingkupi berbagai media massa dianggap memiliki kekuatan dalam membangun persepsi masyarakat. Televisi, sebagai salah satu media yang aktif memberikan tayangan secara audio visual dapat dibilang memiliki magnet yang cukup kuat dalam masyarakat. Saat ini, dapat dikatakan hampir seluruh rumah di Indonesia ini memiliki televisi dan hampir setiap hari menkonsumsinya.


George Gerbner berusaha mengelompokkan pengguna televisi ke dalam dua kelompok. Khalayak yang menonton televisi kurang dari dua jam dapat dikatakan sebagai kelompo ringan (light user). Sedangkan khalayak yang menonton lebih dari dua jam setiap harinya, dikatakan sebagai pengguna berat televisi(heavy user). Kelompok ringan dianggap sebagai kelompok yang selektif dalam menggunakan Televisi. Mereka memiliki kecenderungan untuk hanya mengguanakan televisi pada saat tertentu saja dan kemuadian mematikannya jika acara tersebut telah selesai. Sedangkan kelompok berat, cenderung menggunakan televisi sebagai tontonan. Kelompok berat inilah yang secara tidak langsung akan terpengaruh realitas yang digambarkan oleh televisi. Lalu, sejauh apakah televisi memainkan perannya dalam proses sosialisasi terhadap nilai dalam masyarakat?. Benarkah saat ini nilai-nilai yang ada di media khususnya televisi, telah menggeser dan menggantikan pondasi nilai dalam masyarakat itu sendiri?.


Televisi, adalah sebuah pencerminan ganda dari realitas sosial yang terpampang dalam sebuah “small screen”. Richard M. Perloff menganggap bahwa anak-anak cenderung lebih dapat terpengaruh di dalam dunia itu, dimana anak-anak sedang mengalami proses pemahaman peran di dalam kehidupan mereka.Televisi akan membingkai pesan yang mereka bawa, dengan cara mereka sendiri. Bingkai-bingkai ini berisi lukisan mengenai realitas sosial yang berusaha mereka bangun. Televisi menggambarkan tentang etnis, jenis kelamin, fenomena kaum minoritas, dan juga kekerasan dengan cara mereka sendiri. Cara mereka itulah yang kemudian dapat mempengaruhi stereotype, menghasilkan bias, dan kondisi psikologi individu.


Stereotyped yang berhasil dibangun media televisi

Media televisi sering menayangkan tontonan yang berhasil memberikan label pada diri etnis ataupun komunitas tertentu. Kekuatannya terletak pada keberhasilan mereka dalam mengambil sudut pandang gambar dan juga intensita penayangannya. Beberapa bulan yang lalu, kita cukup sering melihat tayangan mengenai bonek yang merupakan suporter Persebaya. Televisi, menggambarkan secara terus menerus kekacauan yang dibuat oleh para bonek ketika itu. Kini dapat dikatakan masyarakat memandang bonek sebagai representative dari kekerasan supporter bola yang ada di Indonesia. Cap negatif kini berhasil disandang bonek dan secara tidak langsung, orang juga akan memandang Surabaya sebagai cerminan kota yang memiliki masyarakat yang cenderung anarkis.


Stereotyped berikutnya yang berhasil dibangun oleh media adalah mengenai jenis kelamin. Pria, berhasil digambarkan sebagai sosok yang maskulin dan selalu berkutat pada hal-hal yang berbau fisik. Selain itu pria juga digambarkan memiliki kecenderungan berfikir logis dan tidak mengedepankan perasaan. Disisi lain, wanita digambarkan sebagai sosok feminist yang lebih memakai perasaan dibandingkan logika. Wanita jarang sekali digambarkan berkecimpung dalam kegiatan yang menuntut energi besar. Ia digambarkan pada hal-hal yang bersifat halus dan lembut. Dan tidak jarang, wanita dianggap sebagai komoditi bagi para pria. Wanita juga digambarkan memiliki karakter yang kurang agresif dibanding pria. Televisi, sukses memberikan pandangannya dan membuat seolah-olah itu yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat.
Tayangan kekerasan yang sering ada di televisi (bahkan dibuat acara khusus) mempunyai efek kultivasi terhadap cara pandang masyarakat mengenai kekerasan itu sendiri. George Gerbner sebagai pencetus teori kultivasi berasumsi bahwa realitas yang diperantarai oleh TV menyebabkan khalayak menciptakan realitas sosial mereka sendiri yang berbeda dengan realitas sebenarnya.
Di dalam website voa-islam.com disebutkan bahwa Komnas Perlindungan Anak merilis, tahun 2006 hingga akhir 2009, 68 persen tayangan di 13 stasiun televisi mengandung kekerasan. Dan dapat diprediksi, angka itu akan naik dari tahun ketahun. Menurut Kak seto, tayangan televisi-lah yang paling fatal mempengaruhi pikiran masyarakat. Tayangan-tayangan ekstrim seperti terjun dari ketinggian, menusuk diri, dan sebagainya, telah mengalirkan pengaruh yang sangat kuat kepada masyarakat, yang pada dasarnya telah terjangkit stres untuk melakukan hal-hal serupa.


Dalam sebuah situs Radio Nederland Wereldomroep yang menyoroti kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh Sri Rumiyati terungkap bahwa televisi berperan didalamnya. Sri Rumiyati yang berusia 48 tahun ini tega membunuh dan kemudian memenggal-menggal tubuh suaminya sendiri. Ia mengaku terinspirasi oleh media yang mengabarkan beberapa kasus mutilasi sebelumnya. Di dalam situs ini, Triyono Lukmantoro seorang sosiolog komunikasi di Semarang, sebagai narasumber mengatakan bahwa media Indonesia belakangan ini memang sangat berperan dalam membuat masyarakat kian irasional. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa media berpotensi dalam menginspirasi pelaku dalam menjalankan aksinya. Disini,media memberikan pengetahuan baru, memberikan stimulasi dan dorongan melalui acara-acara khusus yang mengungkap lebih dalam tentang kriminalitas. Ia mencontohkan beragam tayangan seperti Patroli di SCTV , Buser dan Sergap di RCTI.


Social Learning Theory (Bandura,1997), mengasumsikan bahwa kita cenderung melakukan kekerasan setelah terpapar kekerasan itu sendiri. Sehingga, teori ini cukup relevan dengan kasus kekerasan yang terjadi sebagai akibat dari media televisi sebagai inspiratornya. Disisi lain, Analisis kuttivasi yang dilakukan Gerbner lebih mengarah pada rasa takut yang diciptakan televisi oleh karena tayangan yang mencerminkan dunia yang kejam dan berbahaya. Jakarta, sebagai kota metropolitan, dapat dikatakan memiliki tingkat kejahatan yang cukup tinggi. Jakarta dinilai masyarakat sebagai kota yang marak akan kasus kriminal dan kurang aman. Masyarakat menilainya dari tayangan televisi yang memberikn tontonan mengenai berbagai kejahatan dan kriminalitas yang tejadi di ibu kota setiap harinya dengan kasus yang beragam pula.


Fenomena yang tidak kalah menariknya adalah semakin maraknya budaya transgender dikalangan orang-orang yang berkecimpung didunia pertelevisian. Saat ini, tidak sedikit presenter pria yang memiliki kecenderungan berperilaku kewanita-wanitaan. Televisi berhasil menjual karakter yang dulu ada diluar mainstream. George Gerbner memperkenalkan istilah “mainstreaming” yaitu proses mengikuti arus utama yang terjadi ketika berbagai simbol, informasi dan ide yang ditayangkan Televisi mendominasi atau mengalahkan simbol, informasi, dan ide yang berasal dari pihak lain. Dengan kata lain, saat ini fenomena laki-laki yang berperan layaknya wanita sudah menjadi hal yang biasa di mata publik.
Dimensi lain dalam mengkritisi televisi adalah kemampuannya dalam membuat bias atau pemburaman mengenai realitas yang ada. Dalam hal ini, pemburaman merupakan sebuah konsekuensi sosial yang harus dihadapi dengan hadirnya media televisi.


“Bias media televisi”, sebuah konsekuensi sosial

Media Televisi untuk kesekian kalinya, dikritisi sebagai sesuatu yang dapat menguraikan fondasi nilai masyarakat dari nilai-nilai intinya. Budaya yang tercipta dari televisi direfleksikan secara nyata di kehidupan masyarakat pada umumnya. Joshua Meyrowitz (1985) menyimpulkan bahwa media telah menyebabkan memburamnya peranan dan tempat yang tadinya jelas. Terkadang, tanpa kita sadari, kita telah termanipulasi oleh televisi. Sistem kepercayaan dapat saja terpengaruh secara negatif oleh televisi.
Harold Adams Innis (1951) memiliki persepsi berbeda mengenai bias. Menurutnya, media dipergunakan oleh pihak yang berkepentingan untuk memperoleh kekuasaan politik dan ekonomi. Karena itu, mereka berusaha mengubah susunan sosial dari seuah masyarakat. Lebih lanjut lagi, Innis mengklaim bahwa media memiliki bias yang ada dalam diri mereka untuk mengendalikan aliran ide di dalam sebuah masyarakat. Dalam hal ini, persepsi masyarakat secara otomatis akan terbiaskan pula.


Dapat dikatakan, media di Indonesia saat ini dipenuhi oleh unsur kepentingan dimana masing-masing kepentingan itu saling bersaing layaknya sebuah kompetisi. Setelah berakhirnya orde baru, media yang dulu dikuasai rezim Soeharto atas nama pemerintah, kini media dikuasai oleh pemilik modal yang berkepentingan. Seperti TV One dan ANTV yang dikuasai oleh Bakrie Group, Metro TV yang dikuasai oleh pemilik media Group, Surya Paloh. Nuansa politik terkadang tercium secara eksplisit, namun sering juga dikemas secara implisit. Tidak jarang, masing-mang dari media tersebut menjatuhkan kompetitornya dengan memberitakan hal yang sedikit mengungkapkan aib atau kelemahan dari pihak lain.


Perubahan Psikologi individu

Setiap orang memiliki caranya masing-masing dalam mengidentifikasi karakter dari media televisi. Karakter-karakter yang dibangun dalam televisi, mengarah pada peran yang dimainkan layaknya realitas sebenarnya.Di dalam buku karya Leo W. Jeffres yang berjudul Mass Media (Processes and Effect) disebutkan bahwa media berpotensi besar dalam membangun sifat agresif dikarenakan tayangan kekerasan yang sering ditampilkan. Seorang ethnologist yang bernama Konrad Lorentz, 1966, menggambarkan agresif sebagai insting menyerang yang dimiliki oleh hewan dan manusia yang diarahkan kepada sesamanya. Tidak jauh berbeda, Baron, 1977, mendefinisikan agresi sebagai perilaku yang diarahkan untuk tujuan melukai atau mencederai orang lain.
Kekerasan dan sifat agresif menjadi dua hal yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, kekerasan yang ditimbulkan seseorang berawal dari sifat agresif yang dimiliki oleh individu. Jumlah tayangan mengenai kekerasan dapat diibaaratkan sebagai sebagai stimuli aktif yang memberikan rangsangan, bahwa hal yang ditampilkan dalam layar kaca adalah sebuah kebenaran.
Didalam sebuah penelitian terungkap bahwa anak yang banyak menonton tayangan kartun yang penuh dengan kekerasan, cenderung memiliki sifat agresif ketika berinteraksi dengan temanya. Disisi lain, anak yang menonton kartun tanpa kekerasan, tidak menunjukkan sifat agresif ketika berinteraksi. Lantas, apa yang membuat kedua hal tersebut sangat signifikan? Albert Bandura menjelaskan fenomena tersebut dalam teori Observational Learning miliknya. Ia menjeaskan pada mulanya, anak-anak akan mempelajari sejumlah perilaku melalui tayangan yang ditontonnya. Kemudian, mereka melakukan imitasi atau menerapkan perilaku tersebut dalam interaksi dengan orang lain. Dalam hal ini, anak-anak percaya bahwa tayangan kekerasan yang mereka lihat di televisi adalah realitas hidup yang sebenarnya.
Secara keseluruhan, Televisi merupakan media yang memiliki akses paling besar untuk menjangkau masyarakat. Media Televisi sebagai media yang memiliki kekuasaan yang luas dan misterius, benar-benar menjadi magnet yang kuat dalam proses mempengaruhi khalayak. Berbagai hal negatif yang ditimbulkan oleh televisi bisa saja diminimalisir jika setiap orang berfikir dengan memakai jalur sentral ketika menonton tayangan televisi. Dengan menggunakan jalur sentral, informasi yang didapatkan tidak langsung begitu saja dicerna, namun dikritisi terlebih dahulu.















DAFTAR PUSTAKA


Referensi buku:
Jeffres, Leo.W. 1986. Mass Media (Processes and Effect). United States of America: Waveland Press, Inc. Edisi ke-5.
Morissan. 2010. Psikologi Komunikasi.Bogor :Ghalia Indonesia.
Nurudin. 2009. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
West, Richard dan Lynn H.Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi (Analisis dan Aplikasi) .Salemba Humanika
Surbakti. 2008. Awas Tayangan Televisi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Sumber situs internet :
www. voa-islam.com diakses pada tanggal 13 November 2010 pukul 14.00 WIB
situs milik Radio Nederland Wereldomroep diakses pada tanggal 13 November 2010 pukul 14.00 WIB